Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam Di Indonesia
Oleh : Noor Hidayati
A. Perjalanan Sistem Hukum
Berbicara tentang hukum keluarga islam ( Islamic Family Law ) yang berlaku di
Untuk memperjelas bagaimana tarik-menarik kepentingan yang terjadi diantara ketiga pihak, akan dibahas sejarah undang-undang perkawinan ( UU Perkawinan ).
Undang-Undang Perkawinan Masa Kolonial Belanda/ Pra Kemerdekaan.
Pada awal masa kolonialisme Belanda, yaitu sekitar abad 17-18 serta awal abad 19, pemerintah kolonial Belanda berusaha " mengambil hati " masyarakat Indonesia dengan tetap membiarkan sistem hukum yang berlaku dimasyarakat sebagaimana adanya selama itu. Pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada awal abad 20, tepatnya pada tahun 1937, pemerintah kolonial Belanda berupaya membentuk undnag-undang perkawinan yang diawali dengan disebarnyakanya rancangan ordonansi tentang perkawinan tercatat, yang intinya membuka kesempatan bagi suami istri Indonesia asli/pribumi untuk mencatatkan ( perkawinan ) dirinya. Isi pokok dari rancangan Ordonansi tersebut adalah asas monogamy dalam perkawinan, putusnya perkawinan hanya karena salah satu pihak meninggal dunia atau karena salah satu pihak tidak berada ditempat tinggalnya selama dua tahun tanpa ada kabar berita, dan perkawinan orang-orang pribumi tersebut mempunyai hukum yang sama dengan perkawinan yang tercatat pada pencatatan sipil.
Pada masa kolonial ini, telah terlihat terjadinya tarik menarik kepentingan antara ketiga pihak, yaitu Negara-dalam hal ini pemerintah colonial, agama-dalam hal ini adalah islam, dan perempuan. Namun yang dikalahkan adalah kepentingan perempuan.
Undang-Undang Perkawinan Masa Pasca Kemerdekaan/ Orde Lama.
Pada tahun 1950-an, pemerintah
Undang-Undang Perkawinan Masa Orde Baru.
Pembahasan mengenai cikal bakal UU RI No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengalami tarik ulur diantara dua kepentingan. Pertama, kepentingan kaum nasionalis yang beranggapan bahwa RUU perkawinan tersebut sudah sesuai dan dapat diterapkan di
Ironisnya,diantara dua kutub itu, tidak ada satu pun yang memperjuangkan kepentingan perempuan.
Masa Pertengahan Orde Baru ( Kompilasi Hukum Islam ).
Keterlibatan perempuan dalam KHI sangat minim. Hal ini dapat dilihat dari panitia pelaksana proyek KHI yang berjumlah 16 orang, hanya terdapat seorang perempuan, yaitu Ny.Lies Sugondo dan itupun menduduki posisi sebagai sekretaris, suatu posisi atau peran yang secara umum dilekatkan pada streotip perempuan. Begitujuga ketika panitia ini melakukan wawancara terhadap para ulama se-Indonesia, yang bertugas sebagai pewawancara, diantara 27 oran, tak seorang perempuanpun yang terlibat dari sisi responden ( ulama ), hanya ada empat orang perempuan yang menjadi responden diantara 186 orang.
Subordinasi terhadap perempuan juga terlihat ketika berlangsung lokakarya dalam rangka penyempurnaan KHI ini. kecilnya angka keterlibatan perempuan dalam penyusunan KHI khususnya yang membahas tentang perkawinan, mempengaruhi isi dari KHI itu sendiri. Jika dilihat dari perspektif perempuan, materi yang termuat dalam buku I tentang perkawinan dalam KHI sangat bias patriarkhi. Dari titik ini terlihat bagaimana sejak dulu agama dan Negara selalu berusaha untuk terus meminggirkan perempuan. Gagasan monogami yang tidak pernah berhenti diperjuangkan perempuan- karena poligami sangat meminggirkan perempuan- ternyata tidak pernah diperhatikan. Bahkan dalm KHI ini sangat jela mendukung poligami.
Selain itu, KHI sangat berperan dalam membakukan peran perempuan, yang semuanya itu 'dibungkus' dalam sesuatu yang dianggap doktrin agama. Dalam hal perceraian, KHI juga masih tetap bersikukuh bahwa hak untuk menceraikan hanya ada pada suami. Beberapa organisasi perempuan mencoba melakuakn revisi terhadap KHI. Salah satu pasal yang diusulkan untuk direvisi adalah mengenai pencatatan perkawinan ( pasal 6 ), dimana perkawinan yang tidak dicatatkan tidak mempunyai kekuatan hukum. Sementara itu, anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat ini dianggap hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Padahal kenyataannya, banyak anggota masyarakat yang tidak mencatatkan perkawinannya karena berbagai alasan.
B. Ketentuan Hukum dan Persoalan Pelaksanaannya.
Dalam UU R.I No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 2 ayat 1 menyatakan : " perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Dalam KHI, yang berlaku khusus bagi yang beragama islam, juga disebutkan : " perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum islam sesuai dengann pasal 2 ayat 1 UUP No.1/1974." Selanjutnya pasal 5 ayat 1 mengatakan : " agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat." Dari ketentuan ini jelas bahwa UU perkawinan maupun KHI memisahkan masalah pencatatan dengan sahnya perkawinan sebagai dua hal yang berbeda. Permasalahan dalam pelaksanaan hukum ini adalah kasus itsbat nikah.
Kaitan Dispensasi Nikah dengan Usia Perkawinan.
Pasal 7 UU Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Dalam hal penyimpangan ketentuan usia kawin ini, dapat diminta dispensasi kepengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
Didalam Islam tidak ada ketentuan mengenai batasan usia dewasa untuk kawin. Batasan kedewasaan itu hanya upaya ulama, itupun terbatas hanya Imam Abu Hanifah yang menetapkan usia dewasa, yakni 15 tahun. Jika usia dewasa dikaitkan dengan kewajiban untuk melakukan sholat, maka Islam telah menentukan akal baligh seorang perempuan adalah ditandai dengan menstruasi sedang bagi laki-laki dengan mimpi basah.
Bila kembali merujuk pada dasar pemikiran dibalik ketentuan usia kawin di dalam UU perkawinan, yakni lebih berat pada pertimbangan aspek biologis, dimana kedewasaan diukur dari kematangan biologis; pertimbangan ini mengandung kelemahan tersendiri terutama bila dikaitkan dengan kesehatan reproduksi kaum perempuan.
Masalah perbedaan usia kawin antara laki-laki dan perempuan, yakni 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki, berangkat dari asumsi bahwa laki-laki harus selalu lebih dewasa dan lebih cakap dari istrinya. Hal ini karena laki-laki diposisikan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah, sedangkan perempuan ditempatkan sebagai pihak yang subordinatif.
Perwalian : Kawin Paksa dan Wali adlol
Kawin paksa pada dasarnya tidak diakui dalam UU Perkawinan dan KHI. Dalam pasal 6 ayat 1 UU Perkawinan maupun pasal 16 ayat 1 KHI disebuutkan bahwa : perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Namun peluang adanya kawin paksa dimungkinkan oleh kedua aturn ini, yakni didalam UU Perkawinan, melalui institusi pemberian izin dari orang tua pada anak yang hendak kawin yang belum berusia 21 tahun pasal 6 ayat 2 dan dalam KHI melalui bentuk persetujuan calon mempelai wanita, yang dikatakan dalam pasal 16 ayat 2, bahwa : " bentuk persetujuan calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lesan atau isyarat, tapi dapat juga berupa diam, dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas."
Konsep Fiqih menurut Imam Syafi'I pada dasarnya ada dua, yakni : wali ijbar yaitu seorang wali yang memiliki hak penuh untuk memaksa anak perempuannya; dan wali ikhtiyar, yaitu seorang wali yang tidak memiliki hak penuh untuk memaksa. Wali ikhtiyar ini tidak boleh mengawinkan perempuan tanpa seizing perempuan tersebut.
Mahar
Pasal 30 KHI menyebutkan: " calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanitayang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak." Dalam perceraian, suami yang mentalak istrinya ' qobla dukhul ', wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalm akad nikah ( pasal 35 ayat 1 ). Ketentuan ini merujuk pada ayat 4

Posting Komentar