(function() { (function(){function b(g){this.t={};this.tick=function(h,m,f){var n=f!=void 0?f:(new Date).getTime();this.t[h]=[n,m];if(f==void 0)try{window.console.timeStamp("CSI/"+h)}catch(q){}};this.getStartTickTime=function(){return this.t.start[0]};this.tick("start",null,g)}var a;if(window.performance)var e=(a=window.performance.timing)&&a.responseStart;var p=e>0?new b(e):new b;window.jstiming={Timer:b,load:p};if(a){var c=a.navigationStart;c>0&&e>=c&&(window.jstiming.srt=e-c)}if(a){var d=window.jstiming.load; c>0&&e>=c&&(d.tick("_wtsrt",void 0,c),d.tick("wtsrt_","_wtsrt",e),d.tick("tbsd_","wtsrt_"))}try{a=null,window.chrome&&window.chrome.csi&&(a=Math.floor(window.chrome.csi().pageT),d&&c>0&&(d.tick("_tbnd",void 0,window.chrome.csi().startE),d.tick("tbnd_","_tbnd",c))),a==null&&window.gtbExternal&&(a=window.gtbExternal.pageT()),a==null&&window.external&&(a=window.external.pageT,d&&c>0&&(d.tick("_tbnd",void 0,window.external.startE),d.tick("tbnd_","_tbnd",c))),a&&(window.jstiming.pt=a)}catch(g){}})();window.tickAboveFold=function(b){var a=0;if(b.offsetParent){do a+=b.offsetTop;while(b=b.offsetParent)}b=a;b<=750&&window.jstiming.load.tick("aft")};var k=!1;function l(){k||(k=!0,window.jstiming.load.tick("firstScrollTime"))}window.addEventListener?window.addEventListener("scroll",l,!1):window.attachEvent("onscroll",l); })();
Rabu, 14 Oktober 2009
Gender

Agama dan Ruang Perempuan

Seorang reformis dari tanah arab, Qasim Amin ( 1865-1908 ), pada abad XIX, dalam bukunya menyatakan sebuah keyakinan bahwa suatu bangsa tidak mungkin bisa berkembang tanpa bantuan dari separuh populasinya, yaitu perempuan.

Lepas dari jenis kelamin, perubahan dalam suatu kelompok masyarakat baik di lingkup kecil, maupun lingkup berbangsa dan Negara, peran serta seluruh komponen masyarakat tak bisa di nafikan. Komposisi pria dan perempuan yang menurut statistik lebih besar pada jumlah perempuan, secara logis membenarkan pernyataan Qasim Amin seperti tersebut di atas.

Fenomena yang ada, perempuan dirasa tidak mendapatkan posisi untuk melakukan optimalisasi peranan-peranannya dalam kancah bermasyarakat. Perempuan masuk ruang public merupakan satu hal yang masih jarang. Bahkan, masih menurut Qasim Amin " Istri dianggap dipakai sebagai alat untuk mencapai kenikmatan, kaum laki-laki dapat bermain dengannya selama dia inginkan, lalu dapt mebuangnnya ke jalan kalau dia sudah memutuskan begitu". Reformis yang orang Mesir keturunan Turki ini sampai menganjurkan agar perempuan melepaskan jilbab, menyerukan pemberian pendidikan yang sama kepada laki-laki dan perempuan, dan meninggalkan poligami yang menurutnya dapat ditolerir kalau sang istri mandul. Bukan hanya Qasim Amin, ada nama-nama reformis lain seperti Tahar Haddad ( 1899-1935 ) yang menyerukan hal serupa.

Pembicaraan mengenai hak-hak perempuan seakan-akan selalu bertentangan dengan religiusitas. Norma-norma agama dianggap selalu kontra prodktif. Dari mulai perintah berjilbab hingga hukum waris selalu dilihat dari segi yang menyudutkan kaum hawa. Agama seolah-olah mendapatkan tuduhan sebagai biang patriarkiyang menundukkan perempuan dalam posisi subordinat. Kemudian muncullah istilah ketidakadilan gender ( dalam agama ). Qasim Amin yang pengetahuan agamanya tidak diragukan lagi, masalah perempuan adalah juga bagian yang tak terpisah dari doktrin agama, sementara para feminis kontemporer melihat problem perempuan lebih dari perspektif social budaya: perempuan sebagai objek diskriminasi gender yang di bentuk oleh masyarakat dan tradisi. Walaupun kaum feminis kontemporer, meskipun mereka kerap mencari-cari justifikasi teologis dalam menyokong beberapa pertanyaan interpretisnya terhadap masalah perempuan dan peran sosialnya, secara umum mereka "bukan ahli" soal agama, katakanlah seperti Qasim Amin yang pengetahuan agamanya tidak disangsikan lagi.

Tidak sepenuhnya salah jika kita memang melihat fenomena yang ada dari satu sudut saja, sepreti para kaum feminis tersebut. sebenarnya, agak enggan saya menggunakan kata feminis atau feminisme. Banyak salah kaprah dalam penggunaan kata itu. Misal, orang-orang timua yang menganggap kaum perempuan barat menjadi bebas karena feminisme. Padahal banyak hak yang masih diperjungakan oleh kaum perempuan di barat pada abad XX ini. Contohnya seperti di Perancis, yang kaum perempuan baru diberi hak memilih pada bulan Oktober 1945 oleh presiden Jenderal de Gaulle.

Hal yang diperlukan dalam konteks permasalahan ini adalah bagaimana kita dapat mendudukkan dengan benar akar permasalan yang ada. Antara agama dan ketidakadilan gender yang kemudian menjadikan perempuan menjadi " impoten" dalam melakukan fungsi-fungsinya dalam masyarakat.

Mitos Adam dan Hawa mungkin menjadi salah satu hal yang paling mudah untuk menjadi pijakan pihak-pihak yang mendudukkan perempuan bersebarangan dengan agama. Bahwa cerita yang kita pahami adalah Hawa sebagai penggoda, perempuan merupakan racun dunia – kata band yang lagi laris, The Changcuters. Pewarisan cerita tanpa pewarisan makna.

Pandangan teologis Abrahamic religions memiliki kisah tentang hawa ( perempuan ) yang " dituduh" sebagai sumber " dosa asal " karena terbujuk iblis dengan memetik dan makan buah terlarang, dan memberikannya kepada Adam. Sementara kalangan yang menganggap kisah ini sebagai peminggiran perempuan. Bahkan, sementara pihak menafsirkan bahwa tradisi Kristianitelah mengembangkan kebencian dan kecurigaan pada wanita dalam " doktrin dosa asal " –nya ( Ayu Utami, 2002: 12 )

Padahal ketika kita mau berfikir mitos tersebut bukan semata-mata dari sudut pandang posisi si Hawa. Menafsirkan sebuah mitos yang juga merupakan bahasa sastrawi, dimana Agama mengunngkapkan maknanya dengan bahasa yang indah. Dimaknai secara sederhana saja, bahwajika tidak ada scenario Hawa membujuk Adam untuk memakan buah khuldi, maka tak akan pernah ada kehidupan di muka bumi ini. Dengan kata lain, tujuan dari kisah itu, bukan dengan maksud meminggirkan posisi perempuan, melainkan hanya sebagai salah satu alur yang dipilih untuk dijadikan starting point kehidupan dimuka bumi. Karena tanpa adanya Hawa yang membujuk Adam, maka mustahil keduanya diturunkan ke bumi, dan kita tak pernah mungkin ada saat ini.

Perdebatan seputar ketidakadilan gender dan agama memang selalu menjadi diskursus yang tak kunjung habis bahkan semakin menarik karena dapat memunculkan inovasi perspektif dan wacana-wacana yang baru. Disini ada korelasi yang timbul antara agama dengan munculnya kekuasaan patriarki yang berkembang.

Perempuan dan laki-laki pada dasarnya hanya kategori spesies manusia yang keduanya di anugerahi derajat yang sama, dengan iman dan taqwa yang membedakan di antaranya. Penafsiran agama yang secara histories mungkin lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki menimbulkan partisipasi perempuan dalam masyarakat cenderung diabaikan. Pada konteks ini, permasalahan yang timbul hanyalah tidak munculnya lateralisasi dalam penafsiran teks-teks agama. Namun jika kita menyimak, walaupun dalam wacana, agama sering di anggap melakukan ketidakadilan gender pada perempuan, pada kenyataannya perempuan mendapatkan tempat istimewa. Paling tidak, dalam perspektif agama Katolik dan Islam, peran itu di akui secara istimewa dalam diri Maria ( Maryam ) Maria diterima sebagai yang peremppuan yang mengandung, melahirkan, mendidik, dan mendewasakan Yesus dengan segala kedewasaan personal, kecerdasan spiritual, dan kemampuan profetik. Bahkan, peranan Maria di akui sedemikian penting dan istimewa dalam karya dan sejarah keselamatan Allah ( Qs. Maryam 19: 18-21 ). Dalam posisi itu, martabat perempuan telah diangkat tinggi, bukan saja ebagai " Citra Allah ", tetapi sebagai Bunda Penebus.

Selain Maria dalam Alkitab ada nama-nama perempuan yang berperan penting dalam sejarah keselamatan, seperti Deborah, Yudith, dan Esther, dalam perspektif agama, mereka adalah models of very brave and strong women. Bahkan, dalam konteks social-politik pada zamannya, they played roles in saving the nation. ( Dominic Izhaq, 2001: 82 )

Dalam sejarah perempuan dan agama, kita mengenal Bunda Theresa dari Calcuta. Dia merupakan symbol perempuan yang menjalin harmoni dengan agama dalam melawan kekerasan, kemiskinan dan ketidakadilan. Sebelum Bunda Theresa, dikalangan agama Katolik terdapat para santa yang merelakan hidup dan kekudusan mereka untuk membela iman ( dan Agama ) berhadapan dengan kekerasan budaya, social, ekonomi dan politik. Dan, agama ( Katolik ) menerima korban kekerasan itu bukan sebagai pesakitan yang harus dijauhi, melainkan sebagai mutiara, para santa. Dalam tradisi itulah perempuan mendapat posisi sederajat, tanpa subordinasi, tanpa kekerasan, marjinalisasi, maupun ketidakadilan dalam agama.

Wacana yang ada, agama selalu didudukkan pada posisi pro partriarki. Penciptaan makna agama yang lebih mengukuhkan kekuasaan partriarki, sesungguhnya prosesnya terselubung " ideologisme "antara tafsir agama dan konteks kekuasaan kaum laki-laki pada saat itu. Michel Foucault, seorang filsuf postmodernis, menengarai adanya hubungan antara " pengetahuan " dan " kekuasaan " ( knowledge and power ), yaitu kekuasaan menentukan pengetahuan, dalam arti: menetapkan tipe-tipe diskursus yang benar dalam arti ayng " works "; menetapkan mekanisme yang memungkinkan untuk membedakan proposisi yang benar dan yang salah; menetapkan teknk dan prosedur dalam mencapai kebenaran di atas; menetapkan status dari mereka yang ditugasi untuk mengatakan hal-hal yang di anggap benar. ( Foucault: 1980, 131 ).

Penafsiran agama yang kemudian memperkukuh patriarki, sebenarnya merupakan wujud bermainnya idseologi dalam pemaknaan agama. Secara sederhana partriarki memang akan sulit dihapus karena itu muncul semenjak masa awal peradaban manusia saat masih berburu dan meramu. Bisa dibayangkan pada kondisi primitive seperti itu, dimana mereka memenuhi kehidupannya mengandalkan kekuatan fisik, sementara perempuan mengalami fase-fase di mana dia harus beristirahat fisiknya ( hamil ). Maka pada saat itu, jelas laki-laki memilliki porsi yang lebih luas dalam peranan memenuhi kebutuhan hidup. Seiring waktu pemikiran dan zaman berkembang, saat menyadari kekuatan manusia bukan hanya pada fisik, peran-peran perempuan muali tampak. Namun, untuk menghapus sisa-sisa patriarkhi yang sudah membumi dari dimulainya peradaban, merupakan suatu hal yang sulit. Kemudian justru munculnya agama sebagai pencerahan menjadikan pemikiran terbuka dan mengurangi adanya patriarki yang menjadikan kolonialisasi pada perempuan. Agama justru membunuh keprimitifan patriarki, bukan sebuah pengukuhan seperti yang selama ini diwacanakan.

Maka pendududkan akar masalah, yakni bagaimana kemudian kita dapat melakukan pemaknaan agama dengan semestinya dan bukan sebagai ajang bagi gi tertentu. Dalam pemaknaan-pemaknaan agama tidak dapat dipisahkan atau bahkan dikontraposisikan dengan kebebasan perempuan. Agama hadir di muka bumi untuk membebaskan perempuan. Ketika muncul pmeknaan bahwa agama vis a vis kebebasan perempuan (dalam artian berkarya), maka perlu dievaluasi pemaknaan agama yang dilakukan. Tidak dengan tendensius, namun dengan mencoba memulai dengan ketulusan untuk membebaskan perempuandari belenggu budaya yang ada.hal ini dapat sebagai otokritik pula pada gerakan perempuan, bahwa sebuah gerakan perlu perlu melakukan sinergisitas dengan pemahaman hal-hal lain seperti agama. Asperk-aspek yang adadi luar gerakan sesungguhnya adalah sebuah komponen pendukung, bukan selalu diposisiskan untuk vis a vis. Sinergisitas yang muncl antara gerakan agama dan gerakan perempuan akan membawa kepada sebuah perubahan social yang berkeadilan. Semoga!

Daftar pustaka

-Assyaukanie, Luthfi. Gerakan feminisme Arab ( Arab Femenist movement ). Source: Jurnal Paramadina, vol.I No1, Juli-Desember 1998.

-Muhammad, Husain K.H. 2001. Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender. Jogjakarta: Pt. LKiS Pelangi Aksara Jogjakarta.

-Muslim pada Agama dan Subordinasi Perempuan, www. LampungPost. Com, diakses tgl 10 desember 2008.

posted by dhafa poenya at 02.37 | Permalink | 0 comments
Menu Masak Makanan Favorit GW..



Makanan Favorit Gue…..Cumiiiiiiiiiii Donkkkkkkkk!!!!

CUMI SINGAPORE

Bahan :

v 400 gram Cumi

v 1 buah Bawang bombai, iris kasar

v 4 buah Cabai hijau, buang biji, potong kotak

v 4 buah Cabai merah, buang biji, potong kotak

v 1 batang Sereh

v 2 cm Lengkuas

v 5 sdm Saus tomat

v 1 sdm Tepung maizena, larutkan dengan sedikit air

v Garam Secukupnya

v Gula Secukupnya

v Merica Secukupnya

Bumbu halus :

v 4 buah Cabai merah

v 2 siung Bawang putih

v 3 siung Bawang merah kecil

Cara Membuat :

1. Cuci cumi sampai bersih

2. Buang semua hitam di kulitnya, potong-potong sesuai selera.

3. Rendam cumi dengan air jeruk dan garam selama kurang lebih 15 menit, kemudian cuci lagi.

4. Tumis bawang bombai dan bumbu halus, sereh, serta lengkuas.

5. Masukkan cumi dan saus tomat, setelah cumi matang, masukkan cabai merah dan cabai hijau. Biarkan sedikit layu. Angkat dan hidangkan.

CUMI GORENG SAUS BLUEBAND

Bahan :

v 500 gram Cumi tanggung besarnya.

v 1 buah Bawang bombai, potong memanjang.

v 1 sdm Blue band.

Saus Blue Band :

v 1 sdm Saus Inggris

v 1 sdt Kecap manis

v ½ sdt Lada

v 2 sdt Gula pasir

v 2 sdt Kecap asin

v 4 sdm Air

v 4 siung Bawang putih, memarkan

v 3 potong Jahe, tipis

v Minyak goreng Secukupnya untuk menggoreng cumi.

Cara Memasak :

  1. Bersihkan cumi dari kulit ari dan tintanya, lalu tiriskan.
  2. Panaskan minyak hingga panas betul, lalu goreng cumi sebentar ( 1 menit ) angkat.
  3. Tumis bawang putih dan jahe dengan blue band hingga harum, lalu masukkan semua bumbu, lalu bawang bombai.
  4. Terakhir masukkan cumi sebentar, lalu angkat.

CUMI ALA TRIARGA

Bahan :

v 500 gram Cumi-Cumi

v Garam Secukupnya

v Gula Secukupnya

v 2 cm Kunyit

v 2 cm Lengkuas

v 3 potong Jahe

v 5 siung Bawang merah

v 4 siung Bawang putih

v Santan Secukupnya

Bumbu Halus :

v 3 potong Jahe

v 2 cm Lengkuas

v 2 cm Kunyit

v 5 siung Bawang merah

v 4 siung Bawang putih

Cara Membuat :

  1. Bersihkan cumi dari kulit ari dan tintanya, lalu tiriskan.
  2. Buang semua hitam di kulitnya.
  3. Isi cumi dengan tahu atau telor.
  4. Masak santan hingga mendidih.
  5. Masukkan bumbu, cumi, masak hingga santan mulai mengering.
  6. Setelah matang, angkat dan hidangkan.

RENDANG DAGING

Bahan ;

v 1 kg Daging, potong kotak, menjadi 20-25 iris

v 2 lembar Daun kunyit

v 5 lembar Daun jeruk purut

v 2 batang Serai, memarkan

v 2 buah Asam kandis

v 3 bungkus Santan kental / instant dari 3 butir kelapa

v 10 butir Bawang merah, iris tipis

Bumbu Halus :

v 3 sdm Lengkuas cincang

v ½ sdm Kunyit cincang

v ½ sdm Jahe cincang

v 200 gram Cabai merah

v 4 siung Bawang putih

v Garam Secukupnya

v Gula Secukupnya

Cara Membuat :

  1. Masak santan sambil di aduk2 agar tidak pecah hingga mendidih
  2. Masukkan daun kunyit, serai, daun jeruk, irisan bawang merah, asam kandis dan bumbu halus, biarkan mendidih
  3. masukkan daging masak sampai daging lunak, beri garam dan gula, sambil di aduk terus sampai kuah bumbu mongering dan kecoklatan. Angkat

SAMBAL GORENG TELUR PUYUH

Bahan :

v Telur puyuh Secukupnya

rebus

v 200 ml Santan dari ½ butir kelapa

v 1 cm Kayu manis

v 2 butir Cengkeh

v 1 lembar Daun salam

v 1/8 sdt Pala bubuk

v 1 sdm Asam jawa

v 2 papan Petai

v 2 buah Cabai merah, di iris miring

v 2 buah Cabai hijau, di iris miring

v 2 sdm Minyak goreng

Bumbu Halus :

v 5 buah Cabai merah

v 6 butir Bawang merah

v 2 siung Bawang putih

v ½ sdt Ketumbar

v 1/8 sdt Jintan

v 1/8 sdt Adas manis

v 2 ½ sdt Garam

Cara Membuat :

  1. Tumis bumbu halus, kayu manis, cengkeh, pala, dan daun salam hingga harum
  2. Masukkan petai, cabai merah dan cabai hijau sambil di aduk hingga layu
  3. Masukkan telor puyuh dan garam. Aduk sampai bahan terbalut bumbu. Angkat dan sajikan.

AYAM CAH JAMUR KACANG POLONG

Bahan :

v 1 ekor Ayam, potong 4 bagian, bersihkan

v ½ kg Jamur merang, bersihkan belah 2

v ¼ kg Kacang polong

v ¼ kg Kapri muda

v 3 siung Bawang putih, iris tipis

v 1 buah Bawang bombai

v 2 sdm Kecap manis

v ½ sdt Lada halus

v Minyak Secukupnya, untuk menumis

v Garam Secukupnya

Cara Membuat :

1. Panaskan minyak, tumis bawang putih dan bawang bombai hingga harum.

2. Masukkan jamur, kacang polong dan kapri muda. Aduk rata biarkan hingga matang.

3. Masukkan ayam yang sudah dipotong dadu, beri kecap, garam dan lada. Aduk rata dan diamkan sebentar, angkat.

SUP BOLA TAHU UDANG

Bahan :

v 6 sdm Tepung bumbu kobe putih

v 2 buah Tahu putih, haluskan

v 100 gram Udang cincang

v 1 butir Telor

v 2 batang Daun bawang

v 2 batang Wortel iris bulat

v 150 cc Kaldu ayam

v Bawang goreng Untuk taburan, secukupnya

Cara Membuat :

  1. Campur tahu, udang, telor dan tepung bumbu kobe putih. Aduk hingga tercampur rata lalu bentuk bulat-bulat, goring hingga berwarna kuning kecoklatan.
  2. Panaskan margarine, tumis daun bawang dan wortel setelah itu tuang dalam kaldu didihkan.
  3. Masukkan bola udang goring dalam kaldu, siap di hidangkan dengan taburan bawang goring.

Tips Cara Membuat Kaldu :

v 2000 cc air, 500 gram ceker dan sayap ayam, garam secukupnya, rebus air, ceker dan sayap dengan api kecil selama 30 menit, angkat dan saring. Siap di gunakan.

TUMIS BUNCIS SARDINES ABC

Bahan :

v 1 sdm Minyak goring

v 2 siung Bawang putih, cincang halus

v 2 siung Bawang merah, cincang halus

v 1 buah Cabai merah iris serong

v 100 gram Buncis muda belah dua, memanjang

v 100 gram Jagung muda belah dua, memanjang

v 1 kaleng Sardens ABC saus cabai

v ½ sdt Merica hitam bubuk

v ½ sdt Garam halus

Cara Memasak :

  1. Panaskan minyak goring, tumis bawang putih, bawang merah dan cabai merah hingga layu.
  2. Masukkan buncis dan jagung muda aduk sebentar.
  3. Tambahkan sardines ABC beserta sausnya, merica hitam dan garam. Aduk rata.
  4. Masak sambil aduk hingga seluruhnya matang. Angkat dan sajikan.

posted by dhafa poenya at 02.22 | Permalink | 0 comments
Gender


Posisi Perempuan Dalam Hukum Islam Di Indonesia

Oleh : Noor Hidayati

A. Perjalanan Sistem Hukum Indonesia.

Berbicara tentang hukum keluarga islam ( Islamic Family Law ) yang berlaku di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjalanan sistem hukum di Indonesia sejak masa kolonialisme Belanda hingga sekarang. Yang menarik sepanjang sejarah Indonesia, diskursus mengenai hukum keluarga termasuk didalamnya adalah hukum perkawinan secara umum, paling tidak melibatkan tiga pihak, yaitu : kepentingan agama, Negara, dan perempuan.

Untuk memperjelas bagaimana tarik-menarik kepentingan yang terjadi diantara ketiga pihak, akan dibahas sejarah undang-undang perkawinan ( UU Perkawinan ).

Undang-Undang Perkawinan Masa Kolonial Belanda/ Pra Kemerdekaan.

Pada awal masa kolonialisme Belanda, yaitu sekitar abad 17-18 serta awal abad 19, pemerintah kolonial Belanda berusaha " mengambil hati " masyarakat Indonesia dengan tetap membiarkan sistem hukum yang berlaku dimasyarakat sebagaimana adanya selama itu. Pada perkembangan selanjutnya, yaitu pada awal abad 20, tepatnya pada tahun 1937, pemerintah kolonial Belanda berupaya membentuk undnag-undang perkawinan yang diawali dengan disebarnyakanya rancangan ordonansi tentang perkawinan tercatat, yang intinya membuka kesempatan bagi suami istri Indonesia asli/pribumi untuk mencatatkan ( perkawinan ) dirinya. Isi pokok dari rancangan Ordonansi tersebut adalah asas monogamy dalam perkawinan, putusnya perkawinan hanya karena salah satu pihak meninggal dunia atau karena salah satu pihak tidak berada ditempat tinggalnya selama dua tahun tanpa ada kabar berita, dan perkawinan orang-orang pribumi tersebut mempunyai hukum yang sama dengan perkawinan yang tercatat pada pencatatan sipil.

Pada masa kolonial ini, telah terlihat terjadinya tarik menarik kepentingan antara ketiga pihak, yaitu Negara-dalam hal ini pemerintah colonial, agama-dalam hal ini adalah islam, dan perempuan. Namun yang dikalahkan adalah kepentingan perempuan.

Undang-Undang Perkawinan Masa Pasca Kemerdekaan/ Orde Lama.

Pada tahun 1950-an, pemerintah Indonesia mulai melakukan pengaturan dibidang hukum perkawinan,dengan dibentuknya Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Nikah, Talak, Rujuk ( NTR ). Dengan mengevaluasi pengaturan perkawinan yang berlaku ( warisan pemerintah colonial Belanda ) panitia NTR membuat dua macam rancangan undang-undang ( RUU ) perkawinan, yaitu : RUU Perkawinan yang bersifat umum dan RUU perkawinan yang bersifat khusus untuk masing-masing agama ( Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Budha ).pada tahun 1952, disaat yang sama, Ny Sumari dari Partai Nasional Indonesia ( PNI ) bersama beberapa anggota DPR, juga mengajukan RUU perkawinan yang berisi 32 pasal. RUU perkawinan yang dianut Ny Sumari adalah asas monogami, sementara RUU yang diajukan pemerintah adalah asas poligami.

Undang-Undang Perkawinan Masa Orde Baru.

Pembahasan mengenai cikal bakal UU RI No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan mengalami tarik ulur diantara dua kepentingan. Pertama, kepentingan kaum nasionalis yang beranggapan bahwa RUU perkawinan tersebut sudah sesuai dan dapat diterapkan di Indonesia dengan heterogenitas masyarakatnya. Kedua, dari kelompok yang mengklaim diri sebagai representasi dari kelompok Islam, berpendapat bahwa isi dari RUU perkawinan itu banyak yang bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga tidak dapat digunakan oleh orang Islam, yang merupakan komunitas terbesar di Indonesia.

Ironisnya,diantara dua kutub itu, tidak ada satu pun yang memperjuangkan kepentingan perempuan.

Masa Pertengahan Orde Baru ( Kompilasi Hukum Islam ).

Keterlibatan perempuan dalam KHI sangat minim. Hal ini dapat dilihat dari panitia pelaksana proyek KHI yang berjumlah 16 orang, hanya terdapat seorang perempuan, yaitu Ny.Lies Sugondo dan itupun menduduki posisi sebagai sekretaris, suatu posisi atau peran yang secara umum dilekatkan pada streotip perempuan. Begitujuga ketika panitia ini melakukan wawancara terhadap para ulama se-Indonesia, yang bertugas sebagai pewawancara, diantara 27 oran, tak seorang perempuanpun yang terlibat dari sisi responden ( ulama ), hanya ada empat orang perempuan yang menjadi responden diantara 186 orang.

Subordinasi terhadap perempuan juga terlihat ketika berlangsung lokakarya dalam rangka penyempurnaan KHI ini. kecilnya angka keterlibatan perempuan dalam penyusunan KHI khususnya yang membahas tentang perkawinan, mempengaruhi isi dari KHI itu sendiri. Jika dilihat dari perspektif perempuan, materi yang termuat dalam buku I tentang perkawinan dalam KHI sangat bias patriarkhi. Dari titik ini terlihat bagaimana sejak dulu agama dan Negara selalu berusaha untuk terus meminggirkan perempuan. Gagasan monogami yang tidak pernah berhenti diperjuangkan perempuan- karena poligami sangat meminggirkan perempuan- ternyata tidak pernah diperhatikan. Bahkan dalm KHI ini sangat jela mendukung poligami.

Selain itu, KHI sangat berperan dalam membakukan peran perempuan, yang semuanya itu 'dibungkus' dalam sesuatu yang dianggap doktrin agama. Dalam hal perceraian, KHI juga masih tetap bersikukuh bahwa hak untuk menceraikan hanya ada pada suami. Beberapa organisasi perempuan mencoba melakuakn revisi terhadap KHI. Salah satu pasal yang diusulkan untuk direvisi adalah mengenai pencatatan perkawinan ( pasal 6 ), dimana perkawinan yang tidak dicatatkan tidak mempunyai kekuatan hukum. Sementara itu, anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat ini dianggap hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Padahal kenyataannya, banyak anggota masyarakat yang tidak mencatatkan perkawinannya karena berbagai alasan.

B. Ketentuan Hukum dan Persoalan Pelaksanaannya.

Dalam UU R.I No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, pasal 2 ayat 1 menyatakan : " perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu." Dalam KHI, yang berlaku khusus bagi yang beragama islam, juga disebutkan : " perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum islam sesuai dengann pasal 2 ayat 1 UUP No.1/1974." Selanjutnya pasal 5 ayat 1 mengatakan : " agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam setiap perkawinan harus dicatat." Dari ketentuan ini jelas bahwa UU perkawinan maupun KHI memisahkan masalah pencatatan dengan sahnya perkawinan sebagai dua hal yang berbeda. Permasalahan dalam pelaksanaan hukum ini adalah kasus itsbat nikah.

Kaitan Dispensasi Nikah dengan Usia Perkawinan.

Pasal 7 UU Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Dalam hal penyimpangan ketentuan usia kawin ini, dapat diminta dispensasi kepengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

Didalam Islam tidak ada ketentuan mengenai batasan usia dewasa untuk kawin. Batasan kedewasaan itu hanya upaya ulama, itupun terbatas hanya Imam Abu Hanifah yang menetapkan usia dewasa, yakni 15 tahun. Jika usia dewasa dikaitkan dengan kewajiban untuk melakukan sholat, maka Islam telah menentukan akal baligh seorang perempuan adalah ditandai dengan menstruasi sedang bagi laki-laki dengan mimpi basah.

Bila kembali merujuk pada dasar pemikiran dibalik ketentuan usia kawin di dalam UU perkawinan, yakni lebih berat pada pertimbangan aspek biologis, dimana kedewasaan diukur dari kematangan biologis; pertimbangan ini mengandung kelemahan tersendiri terutama bila dikaitkan dengan kesehatan reproduksi kaum perempuan.

Masalah perbedaan usia kawin antara laki-laki dan perempuan, yakni 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki, berangkat dari asumsi bahwa laki-laki harus selalu lebih dewasa dan lebih cakap dari istrinya. Hal ini karena laki-laki diposisikan sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah, sedangkan perempuan ditempatkan sebagai pihak yang subordinatif.

Perwalian : Kawin Paksa dan Wali adlol

Kawin paksa pada dasarnya tidak diakui dalam UU Perkawinan dan KHI. Dalam pasal 6 ayat 1 UU Perkawinan maupun pasal 16 ayat 1 KHI disebuutkan bahwa : perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Namun peluang adanya kawin paksa dimungkinkan oleh kedua aturn ini, yakni didalam UU Perkawinan, melalui institusi pemberian izin dari orang tua pada anak yang hendak kawin yang belum berusia 21 tahun pasal 6 ayat 2 dan dalam KHI melalui bentuk persetujuan calon mempelai wanita, yang dikatakan dalam pasal 16 ayat 2, bahwa : " bentuk persetujuan calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lesan atau isyarat, tapi dapat juga berupa diam, dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas."

Konsep Fiqih menurut Imam Syafi'I pada dasarnya ada dua, yakni : wali ijbar yaitu seorang wali yang memiliki hak penuh untuk memaksa anak perempuannya; dan wali ikhtiyar, yaitu seorang wali yang tidak memiliki hak penuh untuk memaksa. Wali ikhtiyar ini tidak boleh mengawinkan perempuan tanpa seizing perempuan tersebut.

Mahar

Pasal 30 KHI menyebutkan: " calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanitayang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak." Dalam perceraian, suami yang mentalak istrinya ' qobla dukhul ', wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalm akad nikah ( pasal 35 ayat 1 ). Ketentuan ini merujuk pada ayat 4 surat an-Nisaa', yang artinya : Dan berikanlah mahar kepada pasangan yang kamu nikahi sebagai pemberian yag penuh kerelaan. Kemudian jika meeka menyerahkan kepada kamu sebagian darinya dengan senang hati, maka ambillah pemberian itu yang lebih baik akibatnya. Para ulama sepakat bahwa mahar wajib hukumnya bagi suami kepada istrinya.

posted by dhafa poenya at 02.16 | Permalink | 0 comments
Mengerti Cintaku

Mengerti Cintaku

Cintaku ini tak ingin seperti api

Membara berkobar bersemangat

Dan bila berlebihan akan menyakitimu...

Menyakitiku...

Cintaku ini tak ingin seperti air

Mengalun menghanyutkanmu

Membuatmu dingin beku, panas mendidih

Tak pasti...


Cintaku ini tak ingin seperti bumi

Hanya kau injak tanpa peduli

Menempatkanku tanpa harga diri

Sendiri...

Cintaku ini seperti udara

Menyejukkanmu walau kadang marah

Membelaimu walau kadang menampar

Tapi mengelilingimu

Walau tak selalu kau lihat

Menyentuh tiap senti tubuhmu

Melindungimu dan kau butuhkan selalu...

Aku sayang kamu

Untuk cintaku yang tak pernah mengertiiii…

Pati, 30 januari 2009

Ieda Rafa

posted by dhafa poenya at 02.13 | Permalink | 0 comments