Agama dan Ruang Perempuan
Seorang reformis dari tanah arab, Qasim Amin ( 1865-1908 ), pada abad XIX, dalam bukunya menyatakan sebuah keyakinan bahwa suatu bangsa tidak mungkin bisa berkembang tanpa bantuan dari separuh populasinya, yaitu perempuan.
Lepas dari jenis kelamin, perubahan dalam suatu kelompok masyarakat baik di lingkup kecil, maupun lingkup berbangsa dan Negara, peran serta seluruh komponen masyarakat tak bisa di nafikan. Komposisi pria dan perempuan yang menurut statistik lebih besar pada jumlah perempuan, secara logis membenarkan pernyataan Qasim Amin seperti tersebut di atas.
Fenomena yang ada, perempuan dirasa tidak mendapatkan posisi untuk melakukan optimalisasi peranan-peranannya dalam kancah bermasyarakat. Perempuan masuk ruang public merupakan satu hal yang masih jarang. Bahkan, masih menurut Qasim Amin " Istri dianggap dipakai sebagai alat untuk mencapai kenikmatan, kaum laki-laki dapat bermain dengannya selama dia inginkan, lalu dapt mebuangnnya ke jalan kalau dia sudah memutuskan begitu". Reformis yang orang Mesir keturunan Turki ini sampai menganjurkan agar perempuan melepaskan jilbab, menyerukan pemberian pendidikan yang sama kepada laki-laki dan perempuan, dan meninggalkan poligami yang menurutnya dapat ditolerir kalau sang istri mandul. Bukan hanya Qasim Amin, ada nama-nama reformis lain seperti Tahar Haddad ( 1899-1935 ) yang menyerukan hal serupa.
Pembicaraan mengenai hak-hak perempuan seakan-akan selalu bertentangan dengan religiusitas. Norma-norma agama dianggap selalu kontra prodktif. Dari mulai perintah berjilbab hingga hukum waris selalu dilihat dari segi yang menyudutkan kaum hawa. Agama seolah-olah mendapatkan tuduhan sebagai biang patriarkiyang menundukkan perempuan dalam posisi subordinat. Kemudian muncullah istilah ketidakadilan gender ( dalam agama ). Qasim Amin yang pengetahuan agamanya tidak diragukan lagi, masalah perempuan adalah juga bagian yang tak terpisah dari doktrin agama, sementara para feminis kontemporer melihat problem perempuan lebih dari perspektif social budaya: perempuan sebagai objek diskriminasi gender yang di bentuk oleh masyarakat dan tradisi. Walaupun kaum feminis kontemporer, meskipun mereka kerap mencari-cari justifikasi teologis dalam menyokong beberapa pertanyaan interpretisnya terhadap masalah perempuan dan peran sosialnya, secara umum mereka "bukan ahli" soal agama, katakanlah seperti Qasim Amin yang pengetahuan agamanya tidak disangsikan lagi.
Tidak sepenuhnya salah jika kita memang melihat fenomena yang ada dari satu sudut saja, sepreti para kaum feminis tersebut. sebenarnya, agak enggan saya menggunakan kata feminis atau feminisme. Banyak salah kaprah dalam penggunaan kata itu. Misal, orang-orang timua yang menganggap kaum perempuan barat menjadi bebas karena feminisme. Padahal banyak hak yang masih diperjungakan oleh kaum perempuan di barat pada abad XX ini. Contohnya seperti di Perancis, yang kaum perempuan baru diberi hak memilih pada bulan Oktober 1945 oleh presiden Jenderal de Gaulle.
Hal yang diperlukan dalam konteks permasalahan ini adalah bagaimana kita dapat mendudukkan dengan benar akar permasalan yang ada. Antara agama dan ketidakadilan gender yang kemudian menjadikan perempuan menjadi " impoten" dalam melakukan fungsi-fungsinya dalam masyarakat.
Mitos Adam dan Hawa mungkin menjadi salah satu hal yang paling mudah untuk menjadi pijakan pihak-pihak yang mendudukkan perempuan bersebarangan dengan agama. Bahwa cerita yang kita pahami adalah Hawa sebagai penggoda, perempuan merupakan racun dunia – kata band yang lagi laris, The Changcuters. Pewarisan cerita tanpa pewarisan makna.
Pandangan teologis Abrahamic religions memiliki kisah tentang hawa ( perempuan ) yang " dituduh" sebagai sumber " dosa asal " karena terbujuk iblis dengan memetik dan makan buah terlarang, dan memberikannya kepada Adam. Sementara kalangan yang menganggap kisah ini sebagai peminggiran perempuan. Bahkan, sementara pihak menafsirkan bahwa tradisi Kristianitelah mengembangkan kebencian dan kecurigaan pada wanita dalam " doktrin dosa asal " –nya ( Ayu Utami, 2002: 12 )
Padahal ketika kita mau berfikir mitos tersebut bukan semata-mata dari sudut pandang posisi si Hawa. Menafsirkan sebuah mitos yang juga merupakan bahasa sastrawi, dimana Agama mengunngkapkan maknanya dengan bahasa yang indah. Dimaknai secara sederhana saja, bahwajika tidak ada scenario Hawa membujuk Adam untuk memakan buah khuldi, maka tak akan pernah ada kehidupan di muka bumi ini. Dengan kata lain, tujuan dari kisah itu, bukan dengan maksud meminggirkan posisi perempuan, melainkan hanya sebagai salah satu alur yang dipilih untuk dijadikan starting point kehidupan dimuka bumi. Karena tanpa adanya Hawa yang membujuk Adam, maka mustahil keduanya diturunkan ke bumi, dan kita tak pernah mungkin ada saat ini.
Perdebatan seputar ketidakadilan gender dan agama memang selalu menjadi diskursus yang tak kunjung habis bahkan semakin menarik karena dapat memunculkan inovasi perspektif dan wacana-wacana yang baru. Disini ada korelasi yang timbul antara agama dengan munculnya kekuasaan patriarki yang berkembang.
Perempuan dan laki-laki pada dasarnya hanya kategori spesies manusia yang keduanya di anugerahi derajat yang sama, dengan iman dan taqwa yang membedakan di antaranya. Penafsiran agama yang secara histories mungkin lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki menimbulkan partisipasi perempuan dalam masyarakat cenderung diabaikan. Pada konteks ini, permasalahan yang timbul hanyalah tidak munculnya lateralisasi dalam penafsiran teks-teks agama. Namun jika kita menyimak, walaupun dalam wacana, agama sering di anggap melakukan ketidakadilan gender pada perempuan, pada kenyataannya perempuan mendapatkan tempat istimewa. Paling tidak, dalam perspektif agama Katolik dan Islam, peran itu di akui secara istimewa dalam diri Maria ( Maryam ) Maria diterima sebagai yang peremppuan yang mengandung, melahirkan, mendidik, dan mendewasakan Yesus dengan segala kedewasaan personal, kecerdasan spiritual, dan kemampuan profetik. Bahkan, peranan Maria di akui sedemikian penting dan istimewa dalam karya dan sejarah keselamatan Allah ( Qs. Maryam 19: 18-21 ). Dalam posisi itu, martabat perempuan telah diangkat tinggi, bukan saja ebagai " Citra Allah ", tetapi sebagai Bunda Penebus.
Selain Maria dalam Alkitab ada nama-nama perempuan yang berperan penting dalam sejarah keselamatan, seperti Deborah, Yudith, dan Esther, dalam perspektif agama, mereka adalah models of very brave and strong women. Bahkan, dalam konteks social-politik pada zamannya, they played roles in saving the nation. ( Dominic Izhaq, 2001: 82 )
Dalam sejarah perempuan dan agama, kita mengenal Bunda Theresa dari Calcuta. Dia merupakan symbol perempuan yang menjalin harmoni dengan agama dalam melawan kekerasan, kemiskinan dan ketidakadilan. Sebelum Bunda Theresa, dikalangan agama Katolik terdapat para santa yang merelakan hidup dan kekudusan mereka untuk membela iman ( dan Agama ) berhadapan dengan kekerasan budaya, social, ekonomi dan politik. Dan, agama ( Katolik ) menerima korban kekerasan itu bukan sebagai pesakitan yang harus dijauhi, melainkan sebagai mutiara, para santa. Dalam tradisi itulah perempuan mendapat posisi sederajat, tanpa subordinasi, tanpa kekerasan, marjinalisasi, maupun ketidakadilan dalam agama.
Wacana yang ada, agama selalu didudukkan pada posisi pro partriarki. Penciptaan makna agama yang lebih mengukuhkan kekuasaan partriarki, sesungguhnya prosesnya terselubung " ideologisme "antara tafsir agama dan konteks kekuasaan kaum laki-laki pada saat itu. Michel Foucault, seorang filsuf postmodernis, menengarai adanya hubungan antara " pengetahuan " dan " kekuasaan " ( knowledge and power ), yaitu kekuasaan menentukan pengetahuan, dalam arti: menetapkan tipe-tipe diskursus yang benar dalam arti ayng " works "; menetapkan mekanisme yang memungkinkan untuk membedakan proposisi yang benar dan yang salah; menetapkan teknk dan prosedur dalam mencapai kebenaran di atas; menetapkan status dari mereka yang ditugasi untuk mengatakan hal-hal yang di anggap benar. ( Foucault: 1980, 131 ).
Penafsiran agama yang kemudian memperkukuh patriarki, sebenarnya merupakan wujud bermainnya idseologi dalam pemaknaan agama. Secara sederhana partriarki memang akan sulit dihapus karena itu muncul semenjak masa awal peradaban manusia saat masih berburu dan meramu. Bisa dibayangkan pada kondisi primitive seperti itu, dimana mereka memenuhi kehidupannya mengandalkan kekuatan fisik, sementara perempuan mengalami fase-fase di mana dia harus beristirahat fisiknya ( hamil ). Maka pada saat itu, jelas laki-laki memilliki porsi yang lebih luas dalam peranan memenuhi kebutuhan hidup. Seiring waktu pemikiran dan zaman berkembang, saat menyadari kekuatan manusia bukan hanya pada fisik, peran-peran perempuan muali tampak. Namun, untuk menghapus sisa-sisa patriarkhi yang sudah membumi dari dimulainya peradaban, merupakan suatu hal yang sulit. Kemudian justru munculnya agama sebagai pencerahan menjadikan pemikiran terbuka dan mengurangi adanya patriarki yang menjadikan kolonialisasi pada perempuan. Agama justru membunuh keprimitifan patriarki, bukan sebuah pengukuhan seperti yang selama ini diwacanakan.
Maka pendududkan akar masalah, yakni bagaimana kemudian kita dapat melakukan pemaknaan agama dengan semestinya dan bukan sebagai ajang bagi gi tertentu. Dalam pemaknaan-pemaknaan agama tidak dapat dipisahkan atau bahkan dikontraposisikan dengan kebebasan perempuan. Agama hadir di muka bumi untuk membebaskan perempuan. Ketika muncul pmeknaan bahwa agama vis a vis kebebasan perempuan (dalam artian berkarya), maka perlu dievaluasi pemaknaan agama yang dilakukan. Tidak dengan tendensius, namun dengan mencoba memulai dengan ketulusan untuk membebaskan perempuandari belenggu budaya yang ada.hal ini dapat sebagai otokritik pula pada gerakan perempuan, bahwa sebuah gerakan perlu perlu melakukan sinergisitas dengan pemahaman hal-hal lain seperti agama. Asperk-aspek yang adadi luar gerakan sesungguhnya adalah sebuah komponen pendukung, bukan selalu diposisiskan untuk vis a vis. Sinergisitas yang muncl antara gerakan agama dan gerakan perempuan akan membawa kepada sebuah perubahan social yang berkeadilan. Semoga!
Daftar pustaka
-Assyaukanie, Luthfi. Gerakan feminisme Arab ( Arab Femenist movement ). Source: Jurnal Paramadina, vol.I No1, Juli-Desember 1998.
-Muhammad, Husain K.H. 2001. Fiqih Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender.
-Muslim pada Agama dan Subordinasi Perempuan, www. LampungPost. Com, diakses tgl 10 desember 2008.